Selasa, 01 Februari 2011

DIALOG AIR DAN POHON

Di jaman mendekati akhir ini, setiap kali terjadi kebanjiran di suatu tempat terutama kota besar, hampir semua orang dibuat susah karenanya. Akibat dari itu, spontan orang-orang melihat sekeliling selokan d depan rumah masing-masing maupun sungai di sekitarnya untuk memastikan apakah ada sampah yang menghambat aliran air menuju ke laut. Dikeruknya habis selokan-selokan dari sampah dan lumpur yang menyumbat aliran air, sungai-sungai dikeruk lebar dan dalam bahkan lebih dalam dari sumur di rumah kita. Banyak trotoar terbuat dari semen dan paving block yang tidak bisa menyerap air. Selain itu merekapun menyalahkan bahkan ingin menghukum para penebang pohon liar di hutan karena air hujan di gunung dan bukit tidak tertahan laju alirannya oleh pepohonan di hutan sepanjang bukit-bukit.
Ketika kemarau tiba, sebegitu menderitanya manusia hingga harus menempuh perjalan berkilometer jauhnya menuju sumber air hingga sampai di tempat jerigen ataupun ember diisi penuh walau harus mengambil air setetes demi setetes hingga air keruhpuh ikut terambil. Mereka menyalahkan air mengapa tidak segera turun hujan?
Begitulah sikap manusia ketika Tuhan memberinya hujan lebat, mereka menyalahkan air yang tidak lancar arusnya. Begitupun ketika Tuhan memberinya musim kering, mereka menyalahkan air yang tidak kunjung datang.
Cobalah tengok apa yang terjadi dengan air?
Sang air memarahi pohon dengan akar yang menghalanginya, itulah awal pertengkaran antara air dengan pohon. “Wahai Sang Pohon, mengapa kau halangi langkahku menuju laut? Bukankah aku harus berpulang kembali ke sana?” tanya Sang Air dengan kata-kata kerasnya. “Bila engkau terus begini, akan kukumpulkan air hingga lebih banyak dan akan menghanyutkan kamu dan kawan-kawanmu !!!”, lanjut Sang Air mengancam.
Sang Pohonpun tersenyum menanggapi amarah Sang Air. “Wahai Sahabatku, terima kasih karena engkau telah menepi sebentar, perjalananmu pulang ke laut begitu jauh, maka sebagian dari engkau beristirahatlah disini, berilah aku sedikit kebaikanmu bila engkau menepi disini. Selain engkau bisa beristirahat, kebaikanmu akan menyuburkan aku hingga engkau meresap dalam akar, batang, daun hingga buahku. Engkau sebagian akan menyatu denganku disini. Sesama sahabat, kita harus berbagi bahagia, setujukah sobat?” jelas pohon dengan arif bijaksananya sambil memohon kepada Sang Air. “Jikalau aku tak ada, panas matahari dan angin akan menghabisimu perlahan. Namun jika engkau menyatu denganku dari akar ke akar pohon aku dan saudaraku, walau lambat engkau akan selamat hingga ke laut dan perjalananmu akan berguna bagi tumbuhnya aku dan juga isi badanmu” kata Sang Pohon dengan penuh kesabaran memberinya saran kepada Sang Air.
“Benar sekali apa yang kau katakan sobat, selama aku hidup, aku harus berbagi denganmu” kata Sang Air meresapi kata-kata bijak Sang Pohon. “Lihatlah sobat, manusia selalu menyalahkan aku, saat aku sedikit mereka memarahiku, saat aku banyak merekapun menyalahiku” kata Sang Air. “Yah, itulah manusia yang pintar namun sok paling pintar karena tak mau disalahkan namun suka melakukan kesalahan, akupun sering dihabisi mereka hingga engkau kehilangan aku dan saudara-saudaraku hingga tak ada tempat berteduh bagimu dari terik matahari” jawab Sang Pohon dengan sikap dewasanya. “Maafkan aku sobat yang telah menyalahkanmu”, kata Sang Air kepada Sang Pohon. “Tak ada yang salah padamu, yang ada kita harus saling menjaga, jagalah aku hingga daunku rimbun, buahpun semakin banyak dan dahan semakin bercabang hingga nyaman bagimu untuk berteduh dari kelelahan akibat terik panas matahari dan manusiapun tak akan menjadi susah karenanya” ajak Sang Pohon kepada Sang Air. “Tetaplah engkau tumbuh dengan rimbunmu sobat, karena akupun bisa berteduh dibawahnya” jawab Sang Air dengan suara yang semakin melunak.